Koperasi Simpan Pinjam adalah sebuah
koperasi yang modalnya diperoleh dari simpanan pokok dan simpanan wajib para
anggota koperasi. Kemudian modal yang telah terkumpul tersebut dipinjamkan
kepada para anggota koperasi dan terkadang juga dipinjamkan kepada orang lain
yang bukan anggota koperasi yang memerlukan pinjaman uang, baik untuk keperluan
komsumtif maupun untuk modal kerja. Kepada setiap peminjam, Kopeasi simpan
pinjam menarik uang administrasi setiap bulan sejumlah sekian prosen dari uang
pinjaman.
Pada akhir tahun, keuntungan yang
diperoleh koperasi simpan pinjam yang berasal dari uang administrasi tersebut
yang disebut "Sisa Hasil Usaha" (SHU) dibagikan kepada para anggota
koperasi. Adapun jumlah keuntungan yang diterima oleh masing-masing anggota
koperasi diperhitungkan menurut keseringan anggota meminjam uang dari Koperasi.
Artinya, anggota yang paling sering meminjam uang dari Koperasi tersebut akan
mendapat bagian paling banyak dari SHU; dan tidak diperhitungkan dari jumlah
simpanannya, karena pada umumnya jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib dari
masing-masing anggota adalah sama.
Sekilas lintas Koperasi ini nampak
seperti usaha gotong royong yang meringankan beban para anggota, menolong
mereka dari jeratan lintah darat dan menguntungkan mereka sendiri, karena SHU
dari Koperasi tersebut mereka terima setiap akhir tahun. Sehingga karenanya,
tidaklah mengherankan jika ada orang yang menyamakan praktek mu'amalah (simpan
pinjam) dari Koperasi ini dengan praktek mu'amalah (simpan pinjam) dari Bank
yang hukumnya telah ditetapkan dalam Muktamar NU di Menes Jawa Barat ditafsil
menjadi tiga, yaitu: haram, syubhat, halal. Padahal ada perbedaan yang prinsip
antara mu'amalah dari Koperasi dan mu'amalah dari Bank, yaitu:
Orang yang meminjam uang dari Koperasi,
meskipun jumlahnya hanya separo dari uang simpanannya sendiri, dia tetap dianggap
sebagai peminjam yang diharuskan membayar uang administrasi. Mu'amalah ini sama
sekali tidak dapat diterima oleh akal fikiran yang sehat (irrational). Sedang
di Bank, seseorang diperbolehkan mengambil seluruh uang simpanannya, kecuali
sejumlah sekian ribu yang harus disisakan sebagai bukti bahwa dia masih
tercatat sebagai nasabah, dan dia tidak dianggap sebagai peminjam dan juga
tidak dikenakan bunga.
Uang yang disimpan di Koperasi, baik
simpanan pokok maupun simpanan wajib, tidak dapat diambil sewaktu-waktu
diperlukan oleh si penyimpan; sedangkan uang yang disimpan di Bank dapat
diambil sewaktu-waktu diperlukan oleh si penyimpan. Bunga yang diberikan oleh
Bank kepada orang yang menyimpan uangnya di Bank tersebut hanya diperhitungkan
dengan jumlah uang yang disimpan; sedang di Koperasi pembagian SHU tidak hanya
diperhitungkan dengan uang simpanannya, melainkan dengan keseringan meminjam
uang dari Koperasi tersebut.
Disamping itu, hukum tafsil dari
menyimpan dan meminjam pada Bank yang telah diputuskan oleh Mu'tamar NU di
Menes seperti tersebut di atas, bukanlah berarti kita boleh memilih salah satu
dari ketiga hukum tersebut sesuka hati kita. Akan tetapi penerapan dari ketiga
hukum tersebut adalah per kasus.
Jika anggota atau pihak lain yang
mengajukan pinjaman pada koperasi, lalu dikenai tambahan dari utang tersebut,
ini hakekatnya adalah riba. Karena kaedah yang perlu kita ingat, setiap utang
piutang yang ditarik keuntungan, maka itu adalah riba. Dan riba dihukumi haram.
Dalam hadits disebutkan,
كل قرض جر منفعة فهو حرام
“Setiap utang piutang yang di
dalamnya ada keuntungan, maka itu dihukumi haram.” Hadits ini adalah hadits
dho’if sebagaimana Syaikh Al Albani menyebut dalam Dho’iful Jami’
no. 4244. Namun berdasarkan kata sepakat para ulama -sebagaimana disebutkan
oleh Ibnu Mundzir-, perkataan di atas benar adanya.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,
وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ
يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ
“Setiap utang yang dipersyaratkan
ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para
ulama.” (Al Mughni, 6: 436)
Kemudian Ibnu Qudamah membawakan
perkataan berikut ini,
“Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama
sepakat bahwa jika orang yang memberikan pinjaman memberikan syarat kepada yang
meminjam supaya memberikan tambahan atau hadiah, lalu transaksinya terjadi
demikian, maka tambahan tersebut adalah riba.”
Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, dari
Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Abbas bahwasanya mereka melarang dari utang piutang yang
ditarik keuntungan karena utang piutang adalah bersifat sosial dan ingin cari
pahala. Jika di dalamnya disengaja mencari keuntungan, maka sudah keluar dari
konteks tujuannya. Tambahan tersebut bisa jadi tambahan dana atau manfaat.”
Lihat Al Mughni, 6: 436.
Jadi walaupun dinamakan sisa hasil
usaha, namun kalau hakikatnya adalah riba, maka hukumnya jelas haram.
Perhatikan Hakekat
Seorang muslim harus cerdas melihat
hakikat suatu transaksi, yaitu apa yang sebenarnya terjadi, bukan hanya melihat
istilah atau nama. Karena istilah dan embel-embel syar’i kadang menipu.
Dikatakan bagi hasil atau sisa hasil usaha, namun kalau ditilik, yang nyata itu
adalah riba. Karena di dalamnya yang terjadi adalah utang-piutang (bukan jual
beli) dan ditarik keuntungan. Itulah riba.
Adapun jika pendapatan koperasi
bercampur antara hasil usaha riil dengan simpan pinjam, maka pendapat seperti
itu harus dipisahkan. Yang haram tersebut mesti dibersihkan dengan disalurkan
pada kemaslahatan kaum muslimin, bukan dimanfaatkan oleh anggota secara
pribadi. Tentu saja seperti itu mesti dihapus dan hendaklah semakin
bertakwa pada Allah dengan meninggalkan yang haram.
Kasus 1
Seorang pemborong muslim yang
memperoleh kontrak untuk membangun sebuah pabrik besar yang biayanya menelan
sekian milyar rupiah. Dari pekerjaan tersebut dia akan memperoleh keuntungan
secara jelas sejumlah sekian juta rupiah yang di antaranya dapat dipergunakan
untuk kepentingan agama Islam. Sedangkan jika kontrak tersebut tidak ditangani
olehnya akan diambil oleh pemborong non-muslim yang jelas keuntungannya akan
dipergunakan untuk hal-hal yang merugikan agama Islam. Akan tetapi si pemborong
muslim tersebut tidak mempunyai modal cukup untuk membiayai proyek pembuatan
pabrik tersebut. Dalam kasus seperti ini, si pemborong muslim tersebut
dihalalkan untuk memminjam uang dari Bank.
Demikian pula halnya seseorang yang
sejumlah uang, sedangkan dia tidak dapat men-tasaruf-kan uang tersebut untuk
usaha dagang atau lainnya, karena sama sekali tidak mempunyai pengalaman; dan
apabila uang tersebut disimpan di rumah takut dicuri orang dan lain sebagainya,
serta akan lekas habis untuk membiayai keperluan hidup diri dan keluarganya
sebelum umur _ghalib), maka dalam kasus seperti ini orang tersebut dihalalkan
untuk menyimpan uangnya di Bank dan memakan bunganya.
Kasus 2
Seorang pemilik rumah tempat indekos
anak-anak sekolah di sebuah kota kecil, kemudian dia meminjam uang dari bank
untuk memperbesar rumah tersebut karena membayangkan (tanpa ada indikasi yang
jelas) akan dipenuhi oleh anak-anak sekolah yang indekos di situ, sehingga akan
menambah jumlah uang yang masuk. Dalam kasus seperti ini, si pemilik rumah
tersebut dihukumi syubhat meminjam uang dari Bank untuk memperbesar
rumah indekosan tersebut.
Demikian pula halnya seorang pedagang
yang karena situasi ekonomi yang labil, dia tidak lagi mau menginvestasikan
modalnya dalam perdagangan karena khawatir tidak mendapat laba yang besar,
kemudian dia simpan modalnya di Bank yang jelas akan mendapat bunga tanpa susah
payah. Maka dalam kasus ini si pedagang tersebut dihukumi syubhat untuk
menyimpan uangnya di Bank dan memakan bunganya.
Kasus 3
Orang yang meminjam uang dari Bank
untuk keperluan membeli pesawat TV atau alat-alat mebelair atau lainnya yang
bersifat konsumtif, hukumnya adalah haram.
Demikian pula halnya orang yang tidak
mau menginvestasikan uangnya dalam perdagangan atau lainnya, karena melihat
bunga yang ditawarkan oleh Bank jauh lebih besar dari pada keuntungan yang
dapat diterima dari bisnis perdagangan atau lainnya. Dalam kasus seperti ini
orang tersebut haram menyimpan uangnya di Bank dan juga haram memakan bunga
yang diberikan oleh Bank.
Adapun KOSIPA ditinjau dari hukum
syariat Islam, maka:
Modal yang dikumpulkan oleh KOSIPA dari
uang simpanan pokok dan simpanan wajib, tidak dapat memenuhi ketantuan
"Syirkah" sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab fikih.
Hal ini dikarenakan:
- Dalam syirkah, pengumpulan modal itu diharuskan berupa lafal yang dapat dirakan sebagai pemberian idzin untuk berdagang. Sedangkan dalam KOSIPA pengumpulan modal tersebut adalah untuk dipinjamkan.
- Dalam syirkah, modal harus sudah terkumpul sebelum dilakukan akad syirkah. Sedangkan dalam KOSIPA, biasanya modal baru dikumpulkan sesudah akad dengan persetujuan dari para anggota. Jadi akad pengumpulan modal dalam KOSIPA tersebut tidak mengikuti ketentuan syara'.
Dasar Pengambilan Hukum
Kitab Fat-hul Mu'in halaman 80
وَشُرِطَ فِيْهَا لَفْظٌ يَدُلُّ عَلَى
الإِذْنِ فِى
التَّصَرُّفِ بِالْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ .
"Dan dalam syirkah itu disyaratkan
ada lafal yang menunjukkan kepada izin untuk mentasarufkan dalam menjual dan
membeli (berdagang).
Yang senada dengan dalil di atas,
adalah ibarat dari kitab-kitab:
- Nihayatul Muhtaj, juz 5 halaman 4.
- Bujairimi 'ala Fat-hil Wahhab juz 3 halaman 43.
Kitab Tuhfatut Thullaab, hamisy dari
kitab Fat-hul Wahhaab, juz 1 halaman 217, disebutkan:
هِيَ شِرْكَةُ أَبْدَانٍ ... اِلَى
اَنْ قَالَ : وَشُرِطَ فِيْهَا لَفْظٌ
يُشْعَرُ بِاِذْنٍ فِى تِجَارَةٍ ... اِلَى
اَنْ قَالَ : وَفِى
الْمَعْقُوْدِ عَلَيْهِ كَوْنُهُ مِثْلِيًّا خَلَطَ قَبْلَ الْعَقْدِ بِحَيْثُ لاَ
يُتَمَيَّزُ .
"Syirkah itu (antara lain) adalah
syirkan badan ... sampai ucapan mushannif: "Dalam syirkah tersebut
disyaratkan ada lafal yang dapat dirasakan sebagai idzin dalam
perdagangan" ... sampai ucapan mushannif: "Dan mengenai harta yang
diakadi, disyaratkan keadaan harta (modal syirkah) tersebut adalah sama
jumlahnya yang telah bercampur menjadi satu sebelum akad, sekira tidak dapat
dibedakan (antara harta dari masing-masing anggota syirkah).
Uang administrasi yang dipungut oleh
KOSIPA dari setiap orang yang meminjam, hanyalah merupakan istilah lain dari
bunga, karena:
- Uang administrasi tersebut merupakan keharusan yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang meminjam uang, sehingga pada hakekatnya tidak berbeda dengan manfa'at yang ditarik oleh yang meminjamkan uang (KOSIPA).
- Besarnya uang administrasi yang dipungut oleh KOSIPA dari setiap orang yang meminjam uang, telah ditentukan terlebih dahulu, yaitu sesuai dengan besarnya uang pinjaman, yaitu sekian prosen dari jumlah pinjaman, berdasarkan keputusan rapat anggota KOSIPA.
- Masih perlu dipersoalkan lagi mengenai akad pinjaman tersebut. Jika jumlah uang yang dipinjam oleh anggota KOSIPA adalah sama atau kurang sedikit dari uang simpanannya sendiri, maka akad pinjaman tersebut adalah fasid atau rusak, sebab anggota tersebut mengambil miliknya sendiri. Dan jika lebih dari uang simpanannya sendiri, maka jumlah pinjaman hanyalah sebesar kelebihan tersebut. Dalam hal ini jika di-akad-i seluruhnya, maka hukumnya juga fasid.
Jadi tanpa memperhatikan apakah syarat
pemberian uang administrasi tersebut dilakukan pada waktu akad pinjam meminjam
sedang berlangsung, atau sebelum akad atau sesudah akad; dan apakah syarat
tersebut berbentuk ucapan atau tulisan, yang kesemuanya memerlukan pembahasan
tersindiri, maka pungutan uang administrasi tersebut dapat dimasukkan dalam
pengertian hadits Nabi saw. yang berbunyi:
كُلُّ قَرْضٍ
جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ
الرِّبَا
"Setiap hutang yang menarik
kemanfa'atan adalah perbuatan riba".
Koperasi menurut Syariat Islam
Jika kita ingin mendirikan koperasi
yang tidak bertentangan dengan syari'at agama Islam, sedang kita bermaksud
untuk memberikan bantuan pinjaman uang kepada para anggota yang memerlukannya,
maka cara yang harus kita lakukan adalah mendirikan KOPERASI SERBA GUNA.
Langkah-langkah yang harus dilakukan
antara lain:
- Setelah modal dari para anggota terkumpul, seluruh anggota dipanggil untuk melakukan kesepakatan (akad) bahwa modal yang telah terkumpul menjadi satu tersebut akan dipergunakan untuk berdagang.
- Koperasi membeli barang-barang yang akan dibeli oleh setiap orang yang memerlukannya, termasuk blangko formulir yang akan dibeli oleh orang ingin meminjam uang dari Koperasi Serba Guna tersebut.
- Setiap orang yang ingin meminjam uang dari koperasi tersebut diharuskan mengisi formulir yang harus dibeli dari koperasi.
- Warna dari kertas formulir yang dijual oleh koperasi harus dibedakan sesuai dengan jumlah uang yang akan dipinjam, misalnya: Untuk pinjaman sebesar Rp.25.000- warnanya putih; untuk Rp 50.000,- warnanya kuning; untuk Rp 75.000,- warnanya hijau; untuk Rp 100.000,- warnanya merah; dan seterusnya.
Sedang harga dari blanko formulir
tersebut dibedakan sesuai dengan warnanya, menurut keputusan rapat anggota.
Dengan demikian koperasi tidak memungut uang administrasi atau bunga, tetapi
memperoleh keuntungan dari penjualan formulir, seperti Kantor Pos menjual
perangko dan koperasi selamat dari perbuatan atau mu'amalah yang riba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar