Istilah dan Pengertian Hukum Perjanjian
Dalam praktik, selama ini kita belum
memiliki rumusan baku tentang perjanjian. Berbagai buku atau ketentuan
undang-undang menggunakan istilah perjanjian dalam bentuk yang berbeda-beda,
seperti kontrak, perikatan, pertalian, atau persetujuan. Sebagai pembanding,
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi ke-3, tahun 2003) kita menjumpai
rumusan sebagai beikut.
a. Perjanjian : 1. Persetujuan
(tertulis dan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing
bersepakatakan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu; 2. Syarat; 3.
Tenggang waktu; 4. Persetujuan resmi antara dua Negara atau lebih dibidang
keamanan, perdagangan, dan sebagainya; 5. Persetujuan antara dua orang atau
lebih dalam bentuk tertulis yang dibubuhi materai, yang meliputi hak dan
kewajiban timbal balik. Masing-masing pihak menerima tembusan perjanjian itu
sebagai tanda bukti keikutsertaannya dalam perjanjian itu.
b. Kontrak : 1. Perjanjian (tertulis) antara dua pihak dalam
perdagangan, sewa menyewa, dan sebagainya; 2. Persetujuan yang bersanksi hukum
antara dua puhak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan kegiatan.
c. Perikatan : 1. Pertalian;
Perhubungan; 2. Perserikatan; Persekutuan.
Dalam Literatur hukum Indonesia,
perumusan tentang materi perjanjian tergantung pada kehendak yang dikaitkan
dengan sumber hukum yang diikutinya. Namun, semuanya kembali ke sumber awal
hukum perikatan yang terdapat dalam Buku III KItab Undang- Undang Hukum Perdata
yang resminya diterjemahkan oleh Prof. R. Subekti, S.H., dan R. Tjitrosudibio.
Dari rumusna perjanjian yang tedapat
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keseluruhan isi rumusan-rumusan tersebut
saling melengkapi dan mendekati isi rumusan yang terdapat dalam KUH Perdata
seperti berikut, “Suatu
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih” (pasal 1313).
Rumusan hukum perjanjian terus
berkembang sesuai dengan kebutuhan dan sesuai pula dengan system terbuka KUH
Perdata seperti tercantum dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian
tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Ketentuan Pasal 1338 alenia (1) KUH
Perdata merupakan pasal yang paling popular karena disinilah disandarkan asas
kebebasan berkontrak, walaupunada juga yang menyandarkannya pada pasal 1320 KUH
Perdata.
Hukum perjanjian atau perikatan dapat
ditelusuri di 18 Bab atau 631 pasal dalam buku III KUH Perdata, mulai Pasal
1233 sampai Pasal 1864, dan ketentuan perundang-undangan lainnya sebagai
perbaikan atau yang melengkapi ketentuan yang dianggap sudah ketinggalan zaman.
Didalam KUH Perdata, hal yang mengatur
perjanjian jual-beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, persekutuan, perkumpulan,
hibah, penitipan barang, pinjam-pakai, biaya tetap dan abadi, untung-untungan,
pemberian kuasa, penanggungan utang, dan perdamaian merupakan perjanjian yang
bersifat khusus. Perjanjian ini pada berbagai kepustakaan hukum disebut
dengan perjanjian nominaat (bernama). Diluar KUH
Perdata, dikenal juga perjanjian laimmya, seperti kontrak proction sharing, kontrak joint ventura, kontrak karya, leasing, beli sewa, dan franchise. Perjanjian jenis ini
diatur dengan undang-undang tersendiri dan biasanya disebut perjanjian innominaat, yaitu
perjanjian yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan masyarakat,
terutama dalam era globalisasi saat ini.
A. STANDAR KONTRAK
Didalam kepustakaan hukum Inggris untuk
istilah perjanjian baku digunakan istilah standarized agreement atau standarized contract. Sedangkan
kepustakaan Belanda menggunakan istilah standaarized voorwaarden, standard contract. Mariam Badrulzaman menggunakan istilah perjanjian baku, baku
berarti ukuran, acuan. Jika bahasa hukum dibakukan berarti bahasa hukum itu
ditentukan ukurannya, standarnya, sehingga , memiliki arti tetap, yang dapat
menjadi pegangan umum.
Sutan Remy Sjahdeni merumuskan
perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausula – klausulanya
sudah di bakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak
mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Menurut Hondius
Dalam Purwahid Patrik menyatakan bahwa syarat-syarat baku dalam perjanjian
adalah syarat-syarat konsep tertulis yang di muat dalam beberapa perjanjian
yang masih akan di buat, yang jumlahnya tidak tertentu tanpa merundingkan
terlebih dahulu isinya. Syarat baku yang disebutkan umumnya juga dinyatakan
sebagai perjanjian baku. Jadi pada asasnya isi perjanjian yang di bakukan
adalah tetap dan tidak dapat diadakan perundingan lagi
Suatu kontrak harus berisi : 1. Nama
dan tanda tangan pihak-pihak yang membuat kontrak; 2. Subjek dan jangka waktu
kontrak; 3. Lingkup Kontrak; 4. Dasar-dasar pelaksanaan kontrak; 5. Kewajiban
dan tanggung jawab; 6. Pembatalan kontrak.
Bila
dikaitkan dengan peraturan yang dikeluarkan yang berkaitan dengan kontrak baku
atau perjanjian standar yang merupakan pembolehan terhadap praktek kontrak
baku, maka terdapat landasan hukum dari berlakunya perjanjian baku yang
dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, yaitu :
1.
Pasal 6.5. 1.2. dan Pasal 6.5.1.3. NBW Belanda
Isi ketentuan itu
adalah sebagai berikut :
Bidang-bidang
usaha untuk mana aturan baku diperlukan ditentukan dengan peraturan.
Aturan
baku dapat ditetapkan, diubah dan dicabut jika disetujui oleh Menteri
kehakiman, melalui sebuah panitian yasng ditentukan untuk itu. Cara menyusun
dan cara bekerja panitia diatur dengan Undang-undang.
Penetapan,
perubahan, dan pencabutan aturan baku hanya mempunyai kekuatan, setelah ada
persetujuan raja dan keputusan raja mengenai hal itu dalam Berita Negara.
Seseorang
yang menandatangani atau dengan cara lain mengetahui isi janji baku atau
menerima penunjukkan terhadap syarat umum, terikat kepada janji itu.
Janji
baku dapat dibatalkan, jika pihak kreditoir mengetahui atau seharunya
mengetahui pihak kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia
mengetahui isinya.
2.
Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22 prinsip UNIDROIT (Principles of
International Comercial Contract).
Prinsip
UNIDROIT merupakan prinsip hukum yang mengatur hak dan kewajiban para pihak
pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan berkontrak karena prinsip
kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa membahayakan pihak yang lemah.
Pasal 2.19 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut:
Apabila
salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan syarat-syarat baku, maka
berlaku aturan-aturan umum tentang pembentukan kontrak dengan tunduk pada pasal
2.20 – pasal 2.22.
Syarat-syarat
baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk digunakan
secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak dan secara nyata digunakan
tanpa negosiasi dengan pihak lainnya.
Ketentuan
ini mengatur tentang :
a.
Tunduknya salah satu pihak terhadap kontrak baku
b.
Pengertian kontrak baku.
3.
Pasal 2.20 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Suatu
persyaratan dalam persyaratan-persyaratan standar yang tidak dapat secara layak
diharapkan oleh suatu pihak, dinyatakan tidak berlaku kecuali pihak tersebut
secara tegas menerimanya.
Untuk
menentukan apakah suatu persyaratan memenuhi ciri seperti tersebut diatas akan
bergantung pada isi bahasa, dan penyajiannya.
4.
Pasal 2.21 berbunyi :dalam hal timbul suatu pertentangan antara
persyaratan-persyaratan standar dan tidak standar, persyaratan yang disebut
terakhir dinyatakan berlaku.
5.
Pasal 2.22, Jika kedua belah pihak menggunakan persyaratan-persyaratan standar
dan mencapai kesepakatan, kecuali untuk beberapa persyaratan tertentu, suatu
kontrak disimpulkan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dan
persyaratan-persyaratan standar yang memiliki kesamaan dalam substansi, kecuali
suatu pihak sebelumnya telah menyatakan jelas atau kemudian tanpa penundaan
untuk memberitahukannya kepada pihak lain, bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan
untuk terikat dengan kontrak tersebut.
6.
UU No 10 Tahun 1988 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
7.
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Dengan telah dikeluarkannya
peraturan-peraturan tersebut diatas menunjukkan bahwa pada intinya kontrak baku
merupakan jenis kontrak yang diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan
oleh kedua belah pihak karena pada dasarnya dasar hukum pelaksanaan kontrak
baku dibuat untuk melindungi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang
berlebihan dan untuk kepentingan umum sehingga perjanjian kontrak baku berlaku
dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya.
Macam-macam
kontrak
Tentang jenis-jenis kontrak KUHP tidak
secara khusus mengaturnya. Penggolongan yang umum dikenal ialah penggolongan
kedalam kontrak timbal balik atau kontrak asas beban, dan kontrak sepihak atau
kontrak tanpa beban atau kontrak cuma-cuma.
Kontrak timbal balik merupakan
perjanjian yang didalamnya masing-masing pihak menyandang status sebagai berhak
dan berkewajiban atau sebagai kreditur dan debitur secara timbal balik,
kreditur pada pihak yang satu maka bagi pihak lainnya adalah sebagai debitur,
begitu juga sebaliknya.
Kontrak sepihak merupakan perjanjian
yang mewajibkan pihak yang satu untuk berprestasi dan memberi hak pada yang
lain untuk menerima prestasi. Contohnya perjanjian pemberian kuasa dengan
cuma-cuma, perjanjian pinjam pakai cuma-cuma, perjanjian pinjam pengganti
cuma-cuma, dan penitipan barang dengan cuma-cuma.
Arti penting pembedaan tersebut ialah :
Berkaitan dengan aturan resiko, pada
perjanjian sepihak resiko ada pada para kreditur, sedangkan pada perjanjian
timbal balik resiko ada pada debitur, kecuali pada perjanjian jual beli.
Berkaitan dengan perjanjian syarat
batal, pada perjanjian timbal balik selalu dipersengketakan.
Jika suatu perjanjian timbal balik saat
pernyataan pailit baik oleh debitur maupun lawan janji tidak dipenuhi seluruh
atau sebagian dari padanya maka lawan janjinya berhak mensomir BHP. Untuk
jangka waktu 8 hari menyatakan apakah mereka mau mempertahankan perjanjian
tersebut.
Kontrak menurut namanya dibedakan
menjadi dua, yaitu kontrak bernama atau kontrak nominat, dan kontrak tidak
bernama atau kontrak innominat. Dalam buku III KUHP tercantum bahwa kontrak
bernama adalah kontrak jual beli, tukar menukar, sewa-menyewa, hibah, penitipan
barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang,
perdamaian, dll. Sementara yang dimaksud dengan kontrak tidak bernama adalah
kontrak yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini
belum tercantum dalam kitab undang-undang hukum perdata. Yang termasuk dalam
kontrak ini misalnya leasing, sewa-beli, keagenan, franchise, kontrak rahim,
joint venture, kontrak karya, production sharing.
Kontrak menurut bentuknya dibedakan
menjadi kontrak lisan dan kontrak tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak yang
dibuat secara lisan tanpa dituangkan kedalam tulisan. Kontrak-kontrak yang
terdapat dalam buku III KUHP dapat dikatakan umumnya merupakan kontrak lisan,
kecuali yang disebut dalam pasal 1682 KUHP yaitu kontrak hibah yang harus
dilakukan dengan akta notaris.
Kontrak tertulis adalah kontrak yang
dituangkan dalam tulisan. Tulisan itu bisa dibuat oleh para pihak sendiri atau
dibuat oleh pejabat, misalnya notaris. Didalam kontrak tertulis kesepakatan lisan
sebagaimana yang digambarkan oleh pasal 1320 KUHP, kemudian dituangkan dalam
tulisan.
B. MACAM – MACAM PERJANJIAN
Macam-macam perjanjian obligator ialah sebagai berikut:
1. Perjanjian dengan cumua-Cuma dan perjanjian dengan
beban.
a. Perjanjian dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian
dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain tanpa
menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata).
b. Perjanjian dengan beban ialah suatu perjanjian dimana
salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan menerima
suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
2. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik.
a. Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana
hanya terdapat kewajiban pada
salah satu pihak saja.
b. Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang
memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
3.
Perjanjian konsensuil, formal dan riil.
a. Perjanjian konsensuil ialah perjanjian dianggap sah
apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian
tersebut.
b. Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus
dilakukan dengan suatu bentuk tertentu, yaitu dengan cara tertulis.
c. Perjanjian riil ialah suatu perjanjian dimana selain
diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.
4.
Perjanjian bernama, tidak bernama, dan campuran.
a.
Perjanjian bernama ialah suatu perjanjian dimana UU
telah mengaturnya dengan ketentuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai
bab XIII KUHerdata ditambah titel VIIA.
b.
Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak
diatur secara khusus.
c. Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung
berbagai perjanjian yang sulit di kualifikasikan.
C. SYARAT SAHNYA PERJANJIAN
Untuk
sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat menurut pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata:
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3.
Suatu hal tertentu
4.
Suatu sebab yang halal
Dua syarat yang pertama dinamakan
syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang
mengadakan perjanjian, sedanngkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat
obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyeknya dari perbuatan
hukum yang dilakukan.
Dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata disebutkan sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat
suatu perjanjian:
1.
Orang-orang yang belum dewasa
2.
Mereka yang ditaruh di bawah pengampunan
3.
Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang dan pada
umumnya semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.
Menurut kKitab Undang-Undang Hukum
Perdata, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian,
memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya (pasal 108 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata).
D. SAAT LAHIRNYA PERJANJIAN
Menurut
azas konsensualitas, suatu pejanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat
atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa
yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan
kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu
adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lainnya, meskipun tidak sejurusan
tetapi secara bertimbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.
Karena
suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat, maka perjanjian itu
lahir pada detik diterimanya penawaran (offerte). Menurut ajaran yang lazim
dianut sekarang, perjanjian harus dianggap dilahirkan pada saat dimana pihak
yang melakukan penawaran menerima jawaban yang termaksud dalam surat tersebut,
sebab saat itulah dapat dianggap sebagai detik lahirnya sepakat. Karena
perjanjian sudah dilahirkan maka tak daapat lagi ia ditarik kembali jika tidak
seizin pihak lawan.
E. PEMBATALAN DAN PELAKSANAAN SUATU PERJANJIAN
Pembatalaan
Suatu Perjanjian
Apabila dalam suatu syarat
obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya adalah batal demi hukum (null and
void). Dalam hal yang demikian maka secara yuridis dari semula tidak ada suatu
perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud
membuat perjanjian itu.
Apabila pada waktu pembuatan
perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subyktif, maka perjanjian itu
bukannya batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalannya oleh salah
satu pihak. Pihak ini adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum (yang meminta
orang tua atau walinya, ataupun ia sendiri apabila ia sudah cakap), dan pihak
yang memberikan perjanjian atau menyetujui itu secara tidak bebas.
Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab
yang membuat perjanjian tidak bebas, yaitu:
1.
Paksaan adalah pemaksaan rohani
atau jiwa, jadi bukan paksaan badan atau fisik. Misalnya salah satu pihak
karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian.
2.
Kekhilafan atau Kekeliruan terjadi
apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang
diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi
obyek dari perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian
itu.
3. Penipuan terjadi apabila satu pihak dengan
sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai
dengan akal-akalan yang cerdik, untuk membujuk pihak lawannya memberikan
perjanjiaannya. Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk
menjerumuskan pihak lawannya. Misalnya mobil yang ditawarkan diganti dulu
merknya, nomor mesinnya dipalsu dan lain sebagainya.
Pelaksanaan
Suatu Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa
di mana seorang berjanji kepada orang lain, atau di mana orang saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu.
Menilik macam-macamnya hal yang
dijanjikan untuk dilaksanakan itu, perjanjian-perjanjian dibagi dalam tiga
macam yaitu:
1.
Perjanjian untuk memberikan menyerahkan barang
2.
Perjanjian untuk bebuat sesuatu
3.
Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
memberikan sekedar petunjuk, ialah persoalan apakah suatu perjanjian mungkin
dieksekusi (dilaksanakan) secara riil. Petunjuk itu kita dapatkan dalam
pasal-pasal 1240-1241.
Dalam hal penafsiran perjanjian ini
pedoman utama ialah: kata-kata suatu perjanjian jelas, maka tidaklah
diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran.
Pedoman-pedoman lain yang penting dalam
menafsirkan suatu perjanjian adalah:
1. Jika
kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, maka
harus dipilihnya menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian
itu dari pada memegang teguh arti kata-kata menurut huruf.
2. Jika
sesuatu janji dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilihnya
pengertian yang sedemikian yang memungkinkan janji itu dilaksanakan daripada
memberikan pengertian yang tidak memungkinkan suatu pelaksanaan.
3. Jika
kata-kata dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian
yang paling selaras dengan sifat perjanjian.
4. Apa
yang meragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan di negeri
atau di tempat di mana perjanjian telah diadakan.
5. Semua
janji harus diartikan dalam hubungan satu sama lain, tiap janji harus
ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya.
6. Jika
ada keragu-raguan, maka suatu perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang
yang elah meminta diperjanjikannya sesuatu hal dan, untuk keuntungan orang yang
telah mengikatkan dirinya untuk itu.
Referensi: